Sejarah


Runtuhnya rezim Orde Baru terlalu banyak menyisakan persoalan yang belum (kalau tidak mau disebut tidak) diselesaikan: pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua dan Aceh, kasus Tanjung Priok, penganiayaan buruh serta penembakan aktivis mahasiswa adalah bukti dosa politik dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh rezim berkuasa. Biarpun diakui, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, namun praktek kekuasaan cenderung mengunci ruang dialog politik yang demokratis, adil dan manusiawi.

Lembaran sejarah Papua, setelah 38 (tigapuluh delapan) tahun terjerembab di bawah lars dan laras kekuasaan, hanya menyisakan malapetaka strukutural di bidang sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, maupun hukum dan keadilan. Proses pemiskinan dan penghisapan yang berlangsung secara sistemik selama 38 (tiga-puluh delapan) tahun, kini menebarkan korban-korban sosial yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan. Kelimpahan Sumber Daya Alam Papua, ternyata tidak berarti apa-apa untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan kurang lebih 2 (dua) juta rakyat. Hutan dibabat, laut dikuras, perut bumi dieksploitasi, namun orang Papua tetap melarat.

Fenomena ini jelas memperlihatkan betapa posisi dan akses politis rakyat Papua sangat lemah. Secara internal, ada proses pelapukan yang berjalan seiring dengan tekanan eksternal (kekuasaan, modal, tekhnologi dan konspirasi).

Bagi Aliansi Demokrasi untuk Papua, perbaikan posisi tawar rakyat harus dijadikan agenda utama, di tingkat kebijakan, organisasi serta perilaku bahkan restrukturisasi dan reformasi sekalipun, tidak bakal membawa perubahan yang lebih baik dari sekarang jika kita kehilangan komitmen untuk menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya. Untuk ini, seluruh kebijakan pembangunan, harus dikembalikan kepada kehendak rakyat. Era di mana rakyat hanya dijadikan obyek pembangunan, harus segera ditinggalkan. Kedaulatan rakyat harus ditempatkan pada awal dan akhir suatu pergumulan yang bernama pembangunan.

Jika tidak, protes damai yang lahir akibat keterpasungan kebebasan rakyat Papua, selalu dihadapi dengan rentetan peluru panas. Akhirnya, alam Papua – Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong, Nabire, Wamena, Timika, Merauke dan Paniai serta yang lainnya – menjadi saksi bisu atas genangan darah dan tumpukan tulang yang berserakan karenanya.

Sejarah demokrasi kita memang penuh dengan tumbal. Kini, setelah sekian banyak tumbal yang dipersembahkan, sepertinya masih banyak dan masih tetap akan meminta tumbal-tumbal lain selama negeri ini masih suka menghadapi demokrasi (kedaulatan rakyat) dengan moncong bedil prajurit.

Dari keprihatinan inilah, Aliansi Demokrasi untuk Papua yang berdiri di Jayapura dengan Akta Notaris Dharmawan Tjoa SH, SE, nomor 7 tanggal 5 Pebruari 2000, hadir dan mencoba bangkit sebagai lokomotif bagi penegakkan demokratisasi dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat di tanah Papua. Aliansi Demokrasi untuk Papua menyadari beratnya peran yang harus dimainkan dalam mencapai misi tersebut. Namun, kebenaran akan selalu mengalahkan kebathilan adalah semangat yang senantiasa memacu kinerja Aliansi Demokrasi untuk Papua.